1. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik
Sebuah
paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi
mengalami fungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem
yang telah mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomali
tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut
terjadinya revoluasi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam rangka
mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002).
Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang
muncul
sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang
cenderung berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang
semestinya berlaku pada abad pengetahuan sekarang ini.
Menurut
paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait
dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural,
sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini
lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif
yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan
interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun
pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peistiwa
belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran
melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya
dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi
makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar
bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog,
penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya
ditujukan untuk
memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.
Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut
paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah,
mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur
dan
menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih
dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan,
investigasi, hipotesis, dan model model yang dibangkitkan oleh siswa
sendiri.
Secara umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu
1. meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa,
2. menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama,
3. menghargai pandangan siswa,
4. materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa,
5. menilai pembelajaran secara kontekstual.
Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa,
investigasi
bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku
teks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki
sebagai pengarah pembelajaran.
Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu
proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru
disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik,
pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi,
membentuk
kembali, atau mentransformasi informasi baru.Untuk menginternalisasi
serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik,
terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai dengan
pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
1. Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.
2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada
keterampilan berpikir kritis.
3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi,dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.
4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi
pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.
5.
Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan
sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.
6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun
dengan siswa yang lain.
7.
Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut
mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.
8. Mengelaborasi respon awal siswa.
9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan
kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan
mengerjakan tugas-tugas.
11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang beragam.
1.1 Tujuan dan Hasil Belajar
Seirama
dengan kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak
terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil
belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga
fokus belajar, yaitu:
1. proses,
2. tranfer belajar, dan
3 bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari
oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh
sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai
manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang
dipresentasikan
oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih
dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan
berpusat pada siswa.
Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya
bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran
perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan
pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu
nilai utama pendekatan konstruktivstik.
Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat
menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang
dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa meaningful learning harus diyakini memiliki
nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih
baik dibandingkan senseless memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah
dikenal sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer
(dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan
mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.
Fokus
yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih
penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn).
Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan
keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas
belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan
berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar
(Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan
belajar yang disasar tersebut tentunya diupayakan pula untuk mencapai
hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma tentang hasil
belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya
bergeser dari no learning dan rote learning menuju constructivistic
learning.
No learning, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil
belajar. Siswa tidak menyediakan perhatian terhadap informasi relevan
yang diterimanya. Rote learning, hanya mampu mengingat
informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa
menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam
memecahkan masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi
dalam memori.
Constructivist learning dapat menampilkan unjuk kerja
retensi dan transfer. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi
yang diterima, mencoba mengembangkan
model mental dengan mengaitkan
hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam
belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian
terhadap informasi-informasi yang relevan dengan selecting,
mengorganisasi infromasi informasi tersebut dalam representasi yang
koheren melalui proses organizing, dan mengintegrasikan
representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di
benaknya melalui proses integrating. Hasil-hasil belajar tersebut secara
teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan
pengetahuan secara bermakna.
1.2 Peranan Guru dalam Pembelajaran
Menurut
hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et
al.,2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus
dimiliki oleh guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut,
adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun
sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data,
memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan
mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama
dengan orang lain. Para guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat
seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung
pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan
teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi
hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka
perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru
diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak
independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan
pertimbangan-pertimbangan kritis.
Para guru diharapkan menjadi
masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam.
Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki
keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran
yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Apabila
konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para guru, maka upaya
mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan
yang menantang.
Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang
meyakinkan bahwa peranan guru tidak lebih dari sebagai fasilitator,
suatu posisi yang sesuai dengan pandangan
konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai
transmiter pembelajaran. Guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung
sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing.
Di
samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam
pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan
sebagai mediator.
Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang
materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah
dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika
siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan
psikomotor siswa.
Sebagai
manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan
masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan
hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam
menyelesaikan tugas.
Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai
isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan
pengelompokan siswa.
Sebagai
mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa
memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari
suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap
belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan
pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan
para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa
ikut berpikir kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru
adalah menciptakan dan memahami sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks
pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan mempermudah implementasi
pembelajaran oleh guru lain atau oleh siswa itu sendiri.
Sintaks
pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan
berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang
berlandaskan paham konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini menjadi
penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.
1.3 Penggubahan Lingkungan dan Sumber Belajar
Salah
satu asas pembelajaran yang harus dipahami adalah “membawa dunia siswa
ke dunia guru dan menghantarkan dunia guru ke dunia siswa”. Tujuannya,
adalah untuk
mengenali potensi siswa dan memberdayakan potensi tersebut sehingga melahirkan
pencerahan
bagi siswa itu sendiri. Alternatif upaya pemberdayaan tersebut dapat
dilakukan dengan penggubahan lingkungan dan sumber belajar.
Termasuk lingkungan belajar adalah sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan
media
masa. Termasuk sumber belajar adalah guru, orang tua, teman dewasa,
teman sebaya, bahan, alat, dan lingkungan itu sendiri. Sumber belajar
ada yang dirancang khusus untuk pembelajaran (by design) dan ada pula
yang bukan dirancang khusus untuk pembelajaran, tetapi dapat digunakan
untuk keperluan pembelajaran (by utilization).
Oleh karena
pembelajaran merupakan kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa
belajar, maka penggubahan lingkungan dan sumber belajar di sini adalah
terkait dengan upaya guru memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan sumber belajar tersebut. Upaya ini dilakukan baik
pembelajaran harus terjadi di dalam kelas atau di luar kelas. Jika
pembelajaran terjadi di kelas, sifat-sifat kelas yang cenderung
multidimensi, keserentakan, kesegeraan, memunculkan kejadian yang tak
dapat diramalkan harus dipahami oleh guru agar terjadi interaksi yang
efektif dalam proses pembelajaran.
2. Model Pembelajaran
Gunter
et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step
procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil
(1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan
demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung
preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran.
An instructional strategy is a method for delivering instruction that
is intended to help students achieve a learning objective (Burden &
Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan
hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar
(Joyce & Weil (1980), yaitu
1. syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran,
2. social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran,
3. principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa,
4. support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan
5.
instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh
langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan
hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan lima contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan
berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving,
model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan
konseptual, dan model group investigation.
2.1 Model Reasoning and Problem Solving
Di
abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah
gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy.
Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang
komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996). Perubahan tersebut
merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai alternatif
pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning
and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki
siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan
aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang
berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking,
critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking
adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking
adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus
pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan
menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang
dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan
kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi.
Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk
orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan
penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan
pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk
menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau
kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi
tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996).
Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir
apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.
Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan
reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah
pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu:
1. membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan,
2.
mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan
diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar),
3.
menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau
eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
4. menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi,aljabar, dan geometri),
5.
refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif
pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan
pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem
sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu
menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip
reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,
konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat
tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan
aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah
berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir
dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan
masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa
untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak
pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir
kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi,
keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak
pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses
keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian
dan masalah-masalah non rutin.
2.2 Model Inquiry Training
Untuk
model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat
tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia
mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki
proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan
pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—
kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu:
1. menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
2. menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah),
3. mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis),
4. mengorganisasikan,merumuskan, dan menjelaskan, dan
5. menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sistem
sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan
kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong
dan digalakkan.
Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan.
Partisipasi
guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan
derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.
Prinsip-prinsip
reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas
dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki
pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan
bimbingan tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan
intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil
eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa. Sarana pembelajaran yang
diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan
proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang
siswa untuk melakukan penelitian.
Sebagai dampak pembelajaran dalam
model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan
dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan
proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan
masalah-masalah non rutin.
2.3 Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan
masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan
pemahaman
tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka
masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan
danmenganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi
mengenai pemecahan
masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et al., 2001), yaitu:
1. Guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang
berkaitan
(masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk
pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi
guru atau dari eksplorasi siswa),
2. Guru membantu siswa
mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu
diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi,
dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran),
3. Guru
membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah
yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa
rasionalnya),
4. Pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain),
5. Presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem
sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa
dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan
investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan
adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran peran
tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan
pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa
dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau
eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah
dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak
pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia
nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah
kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan
self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis,
dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
2.4 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan
yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari
pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan
lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi
di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing
berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada
tiga pilihan, yaitu:
1. mempertahankan intuisinya semula,
2. merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan
3. merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar
terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi
konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993).
Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi
dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan
konseptual
(Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas
aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi
individu dengan orang lain
melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not
just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared
knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran
(Santyasa, 2004), yaitu:
1. Sajian masalah konseptual dan kontekstual,
2. Konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut,
3. Konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan,
4. Konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah,
5. Konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual,
6. konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
Sistem
sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman
belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan,
interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be.
Prinsip
reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai
fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat
ditampilkan secara lisan atau tertulis
melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan
memberi
peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan
pertanyaan konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan
mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan
demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi
yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak
pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar,
pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang
variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan
belajar dengan bekerja, perubahan
paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
2.5 Model Group Investigation
Ide
model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif
filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus
memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998). Dalam buku itu,
Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan
cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah:
1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing;
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik;
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap;
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa;
5.
Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting;
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation
yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas
hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah
sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah
pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu:
1. Grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
2. Planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya),
3. Investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi,
mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi),
4. Organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis),
5.
Presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati,
mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan),
dan
6. Evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap
laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru
berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan
penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem
sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru
dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi
dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru
lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang
konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah,
pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait
dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa
hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat
menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok
untuk memperoleh informasi tersebut.
Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok
dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan
penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak
pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman
yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat
terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa,
penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
3 Kesimpulan
Perencanaan
pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam
mengkreasi , menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga
memungkinkan peristiwa belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan
belajar.
Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses
belajar secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model
pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur,
adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang
sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang
disasar.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi
hendaknya dikemas koheren dengan hakikat pendidikan bidang studi
tersebut. Namun, secara filosofis tujuan pembelajaran adalah untuk
memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan kesadaran belajar,
sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam memecahkan
masalah kehidupan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat
mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma
konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.
Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problembased
instruction,
model conceptual change instruction, model group investigation, dan
masih banyak lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik, adalah model-model pembelajaran alternatif yang sesuai
dengan hakikat pembelajaran humanis populis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar