Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata
hanya menyajikan materi ajar. Guru dituntut memiliki pendekatan mengajar
sesuai dengan tujuan instruksional. Menguasai dan memahami materi yang
akan diajarkan agar dengan cara demikian pembelajar akan benar-benar
memahami apa yang akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat
dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen
yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam
kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus.
Pendekatan CBSA (Cara
Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan
yang dipelajari. CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secar fisik, mental,
intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman
belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi
sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan
aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif
pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Konsep CBSA
yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat
membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas
pembelajar masih rendah dan belum terpogram. Akan tetapi dengan CBSA
para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi
dikerjakan dikelas secara bersama-sama.
Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan CBSA
Usaha
penerapan dan peningkatan CBSA dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau proses pemantapan
konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan
kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha
peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
1. Rasional
atau dasar pemikiran dan alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau
kembali pada hakikat CBSA dan tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara
demikian pembelajar dapat diketahui potensi, tendensi dan terbentuknya
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Pada dasarnya
dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi pelajaran, cara penyajian
atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang. Jadi hampir semua
komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini
mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara
intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang
diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di
rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan
memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya
dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan
profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
2.
Implikasi mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam
kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan
gairah belajar menjadi makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti
halnya pada teori pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar
berkomunikasi searah yang kurang bisa membantu meningkatkan
konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu (curionsity)
pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman
belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar
berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi
pelajaran.
3. Upaya memperbanyak arah komunikasi dan menerapkan
banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif. Cara
seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai
efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai
ujian akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan
demikian kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki.
Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif,
secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes
sumatif.
4. Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan mutu pendidikan
di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi dengan
pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan
pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa
pentingnya proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan
sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus
benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan
kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan
dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan
secara praktik.
Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakekatnya
memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka
kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi
itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa
sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep.
Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan,
siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep
serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses
belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar
aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan
intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang
memungkinkan terjadinya:
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun
demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan
intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa
yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang
menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru
diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat
menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem
pengajaran yang efektif dan efisien.
Dalam menerapkan konsep CBSA,
hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat
kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku
konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah
laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.
Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA
Prinsip
CBSA adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada
kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan
siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun
fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
*
Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta
dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh guru,
misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa
tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
* Keberanian untuk mencari
kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan
suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses
belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
*
Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat
mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
*
Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat
mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
* Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
*
Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka
kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses
belajar-mengajar.
* Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
* Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
* Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan masing-masing.
*
Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar
serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan
belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
*
Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi
kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat
penting diperhatikan guru.
* Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
* Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
*
Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat,
bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses
belajar-mengajar.
* Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
5. Rambu-Rambu Pendekatan CBSA
Yang
dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA
yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah sampai pada
rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk menentukan tingkat CBSA
dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut dapat dilihat
dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat digunakan sebagai
ukuran untuk menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar memiliki
kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan menentukan ada atau tidak
adanya kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya
seorang guru, namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun rendah.
a. Berdasarkan pengelompokan siswa
Strategi
belajar-mengajar yang dipilih oleh guru harus disesuaikan dengan tujuan
pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses
belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk
proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu, keterampilan,
alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang berorientasi pada
kelompok kadang-kadang lebih efektif.
b. Berdasarkan kecepatan Masing-Masing siswa
Pada
saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi
pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka
masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat
bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar
sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi
belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.
c. Pengelompokan berdasarkan kemampuan
Pengelompokan
yang homogin dan didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada pelaksanaan
pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan satu
kelompok maka hal ini mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan
potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir
sama tingkat perkembangan intelektualnya.
d. Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat
Pada
suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok
berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas
kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang
akan dikerjakan.
e. Berdasarkan domein-domein tujuan
Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
§ Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah:
1) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
2) Domein afektif, aspek sikap.
3) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
§ Gagne mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah:
1) Keterampilan intelektual.
2) Strategi kognitif.
3) Informasi verbal.
4) Keterampilan motorik.
5) Sikap dan nilai.
CBSA
dapat diterapkan dalam setiap proses belajar mengajar. Kadar CBSA dalam
setiap proses belajar mengajar dipengaruhi oleh penggunaan strategi
belajar mengajar yang diperoleh. Dalam mengkaji ke-CBSA-an dan
kebermaknaan kegiatan belajar mengajar, Ausubel mengemukakan dua
dimensi, yaitu kebermaknaan bahan serta proses belajar mengajar dan
modus kegiatan belajar mengajar. Ausubel mengecam pendapat yang
menganggap bahwa kegiatan belajar mengajar dengan modus ekspositorik,
misalnya dalam bentuk ceramah mesti kurang bermakna bagi siwa dan
sebaliknya kegiatan belajar mengajar dengan modus discovery dianggap
selalu bermakna secara optimal. Menurutnya kedua dimensi yang
dikemukakan adalah independen, sehingga mungkin saja terjadi pengalaman
belajar mengajar dengan modus ekspositorik sangat bermakna dan
sebaliknya mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus
discovery tetapi tanpa sepenuhnya dimengerti oleh siswa. Yang penting
adalah terjadinya asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh
siswa.
Pengayaan
Memang, kita tidak perlu memperdebatkan dengan
UN – Ujian Nasional. Memang, Sejak awal 1950-an, pemerintah menjadi
penyelenggara tunggal ujian akhir. Kebijakan ini terus berlangsung
sampai awal 1970-an. "Revolusi" pendidikan kembali terjadi ketika
pemerintah membebaskan sekolah menyelenggarakan ujian sendiri sejak
1972.
Sebenarnya, yang harus diperdebatkan adalah bagaimana kurikulum
pendidikan nasional. Salah satu kurikulum yang pernah populer adalah
program Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Metode CBSA merangsang anak
berpikir mandiri, mampu menemukan persoalan, dan dibahas bersama.
Harapannya agar siswa mampu memahami persoalan secara komprehensif.
Namun, mereka yang terbiasa ber-CBSA terbentur UN. Di depan lembar soal,
mereka cuma diminta memilih, bukan menganalisis masalah dan menemukan
jawabannya. Dalam penerapan metode belajar aktif yang benar, siswa dan
guru sama-sama aktifnya.
Kalau ditilik lebih dalam, sebenarnya metode
belajar aktif atau sekarang lumrah disebut sebagai metode PAKEM
(pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan) saat ini mulai dirasakan
pentingnya dikalangan praktisi pendidik. Dikarenakan metode ini agaknya
menjadi jawaban bagi suasana kelas yang kaku, membosankan, menakutkan,
menjadi beban dan tidak membuat betah dan tidak menumbuhkan perasaan
senang belajar bagi anak didik. Alih-alih membuat anak mau menjadi
pembelajar sepanjang hayat yang terjadi malah kelas dan sekolah menjadi
momok yang menakutkan bagi siswa.
Sebuah lelucon mengenai metode
belajar aktif di sekolah dasar. “Metode belajar aktif yang terjadi
adalah guru bermalas-malasan, sedangkan yang aktif justru muridnya.
Murid diminta untuk mencatat, menyalin dan dibebani banyak sekali
pekerjaan rumah. Dengan demikian ada kesalahan dalam menerjemahkan
pendekatan pembelajaran. Tidak mungkin tercapai nuansa PAKEM apabila
siswa dalam hal ini malah terbebani sedangkan guru juga tidak tentu arah
dalam melaksanakan dan merencanakan pembelajaran dikelas.
Cara
belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para
pendidik. Sebab ruh dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah
pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif baik guru dan siswa
sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;
* merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelas.
* membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah belajar dengan bekerja sama)
* membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
*
Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan
modalitas belajar siswa dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa
menjadi perhatian yang setara dan seimbang
* Menilai siswa dengan
cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta
proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut
psikomotorik)
* Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes
tertulis, performa (penampilan saat presentasi, debat dll) dan penugasan
atau proyek
* Membuat portfolio pekerjaan siswa.
Siswa menjadi pihak yang;
* menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
* melakukan riset sederhana
* mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.
* memecahkan masalah (problem solving),
* belajar mengatur waktu dengan baik,
*
melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok
(belajar menerima pendapat orang lain, siswa belajar menjadi team
player)
* mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.
* Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan guest speaker)
* Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.
Belajar dari Renald Kasali
Ada
artikel yang menarik yang masih berkaitan dengan CBSA, yaitu PCL yang
ditulis Rhenald Kasali di harian Seputar Indonesia. Begini kutipan lebih
lengkap;
Banyak hal telah berubah, namun kita tetap saja melakukan
hal yang sama berulang-ulang. Itulah yang terjadi dengan kita dalam
berbagai hal, mulai dari membuat kopi, mengambil jalan menuju tempat
bekerja, menulis surat, memimpin rapat, memimpin kantor, melakukan
presentasi, sampai mengajar (untuk para guru dan dosen). Kita mengulangi
segalanya dalam bentuk kebiasaan (habit) dan ketika harus diubah,
rasanya sulit sekali.
Rasa sulit itu sama seperti seseorang yang
merubah letak jam tangannya dari tangan kiri ke tangan kakan atau
sebaliknya. Hal seperti itulah yang juga dialami oleh para guru dan
dosen dalam mengajar. Semua orang di sini terbiasa mengajar dengan cara
“menyuapi” anak didiknya. Dalam bahasa ilmiah cara itu kita sebut
lecturing atau “memberi kuliah”. Murid mendengarkan, guru berbicara.
Murid Tak Mendengarkan
Tak
seorang pun menyadari bahwa cara-cara lama itu sudah tidak efektif
lagi. Di berbagai sekolah dan universitas murid-murid cenderung tidak
mendengarkan gurunya. Mereka semakin asyik dengan diri mereka
masing-masing. Kalaupun guru atau dosennya galak, mereka hanya bisa diam
sebentar karena takut. Mereka mencatat namun pikiran mereka ada di
tempat lain. Ada di handphone, internet, black berry, facebook, video
game, musik, taman, dsb.
Dalam berbagai kesempatan kita juga pernah
menyaksikan pidato-pidato para pejabat dan presiden yang ditinggal ditur
oleh audience. Bukannya apa-apa, mendengar itu memang meletihkan.
Apalagi kalau yang berbicara hanya membaca, memberi pesan yang kurang
menarik, nada suaranya datar, wajahnya terlalu serius, dan tak menjalin
interaksi. Rasanya ingin sekali kita cepat-cepat meninggalkan ruangan,
menuju taman di depan, berbicara dan tertawa dengan teman-teman.
Inilah
sebuah zaman yang kita sebut dengan era partisipatif. Di era ini, semua
orang ingin berpartisipasi dan terlibat. Ingin berbicara apa saja, yang
penting bisa ikutan. Celakanya sedikit sekali guru dan pemimpin yang
mau memperhatikan hal ini dan merubah cara penyampaian mereka.
Sekitar
7 tahun yang silam, bersama-sama dengan teman-teman yang baru kembali
dari Harvard, saya memperkenalkan metode baru dalam pengajaran yang
kelak berdampak luas dalam teknik presentasi. Metode itu kita sebut
dengan PCL (Participant Centered Learning). Pusat pembelajaran atau
peresentasi itu ada si kelapa para partisipan, audience, bukan di
tangana presenter, pemimpin, guru atau dosen.
Belakangan ini
kampus-kampus mulai memperkenalkan metode SCL atau Student Centered
Learning dan PBL atau Problem-Based Learning. Setelah saya pelajari,
ternyata maksud dan tujuan kedua metode itu sebenarnya sama saja dengan
PCL, yaitu mendorong keterlibatan audience. Hanya bedanya di level
pendidikan yang lebih tinggi, audience tidak ingin diperlakukan sebagai
student. Mereka ingin diperlakukan sebagai subjek, yaitu partisipan.
Monalisa Smile
Anda
mungkin masih ingat dengan film Monalisa Smile yang dibintangi oleh
Julia Roberts. Film ini selalu saya pakai dalam membantu memahami metode
PCL. Dalam film itu diceritakan tentang seorang guru yang habis
dikerjai murid-muridnya yang pintar dan aktif.
Saat pertama melakukan
presentasi, Julia Roberts mengalami kegagalan. Semua slides yang ia
presentasikan diambil dari buku dan celakanya semua audience-nya sudah
membaca isi buku itu. Setiap slide baru dipresentasikan, murid-muridnya
angkat tangan dan mempu menerangkan isinya sebelum sang guru
menyelesaikan penjelasannya. Julia Roberts benar-benar mati akal, gugup
dan menjadi terlihat bodoh.
Bagian film itu selalu kami diskusikan
dan saya katakan pada para mahasiswa, seperti itulah audience yang saya
inginkan. Semua harus sudah membaca dan siap. Sebab, seperti yang pernah
dikatakan Plato, guru hanya akan datang kalau murid-muridnya siap.
Tapi
benarkah mereka membaca sebelum masuk kelas? Bisakah kita memaksa
mreka? Anda benar! Tradisi kita memang bukan tradisi membaca, sudah
begitu, kalau ada satu audience yang kelihatan tahu dan membaca, maka ia
selalu menjadi sasaran olok-olok teman-temannya. Mengapa begitu? Karena
sebagian besar orang tidak membaca. Jadi mereka tidak ingin kelihatan
bodoh, hanya karena ada temannya yang jalan lebih cepat.
Namun
demikian, hal ini ternyata bukan hanya merupakan kesalahan audience
(murid). Kesalahan terbesar justru ada di tangan presenter atau
guru/dosen. Mengapa harus membaca kalau semua ini akan diceritakan
secara penuh oleh guru atau dosennya? Bahkan, Bapak/ Ibu guru sudah
memilihkan bagian-bagian yang penting-penting dari isi buku. Toh ujian
tertulisnya semua bersumber dari catatan kuliah/kelas, bukan dari buku.
Kenyataan
ini berbeda benar dengan yang dilakukan di negara-negara barat. Di
sana, seorang guru atau dosen bukanlah seorang ‘tukang cekok’ yang
memaksakan obat ke mulut anak didiknya. Tugas pendidik adalah membuat
anak-anak didiknya senang belajar, gemar membaca dan berpikir kritis.
Jadi di kelas, seorang guru tidak lagi memaparkan isi buku melainkan
membentuk pikiran dan menjaga antusiasme audiencenya. Akibatnya,
anak-anak didiknya mampu berpikir kritis, terbebas dari
belenggu-belenggu dogmatis dan mampu berpikir “out of the box”.
Dunia Partisipatif
Dalam
bagian lain dari film Monalisa Smile yang juga saya gunakan, Julia
Roberts telah mengubah cara menyampaikan materi. Kali ini ia yang pegang
kendali. Sadar yang dididik siswa-siswa pandai, maka ia menyodorkan
bahan-bahan kehidupan. Slides presentasinya itu tidak ada di silabus
atau di buku. Semua audience tercengang dan berkata, “Apa itu?” Ia
menjawab, “Kalian yang terangkan pada saya, apa itu?”
Audience mulai
binggung karena selama ini terbiasa berpikir buku teks. Mereka semua
ribut, beda pendapat, mencari standar. Itulah saatnya seorang guru
membentuk murid-muridnya.
Bagian film kedua ini saya tujukan kepara
para pemimpin, guru, dosen, dan calon-calon presenter. Saya selalu
mengatakan inilah guru dan pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Guru
yang membebaskan anak-anak didiknya dari belenggu-belenggu, dan guru
yang menumbuhkan antusiasme.
Dalam berbagai kesempatan, tampak jelas,
masalah terbesar pendidikan bangsa ini bukan berada di tangan para anak
didik, rakyat, atau umat yang malas membaca, melainkan ada di tangan
para pemimpin, guru-guru, dan para elit yang terlalu asyik dengan
pikiran-pikirannya sendiri dan terbiasa mencekoki anak kecil. Mereka
lupa bahwa rakyatnya dan anak-anak didiknya telah berubah. Inilah zaman
partisipatif, zaman dimana semua orang sudah terkait satu dengan yang
lain, yang menuntut antusiasme, kesetaraan dan tentu saja pemimpin yang
mau mendengarkan. Itulah esensi dari PCL yanartinya Participant Centered
Learning.
50:50 guru aktif mensupport, anak didik aktif belajar. Cbsa memdng sangat luar biasa hasilnya.
BalasHapus